Entah apa, saya juga tidak tahu alasannya. Tapi pada satu malam, di sela kegiatan mengecek naskah, saya tiba-tiba membuka browser, memainkan jari di keyboard dan... hasilnya jadi sebuah blog sederhana, yang sepertinya akan menampung banyak sekali coretan-coretan saya ke depannya—meski sebenarnya saya tidak yakin akan sering cerita di sini.
Untuk postingan pertama—kenapa bahasanya jadi kaku sekali, yah?—saya mau membahas novel solo pertama saya yang masih fresh. Terbit awal bulan Januari 2019. Judulnya, Sepototong Bulan Menghilang di Matamu.
2 Juli 2018, pertama kali saya melihat info lomba novel dari AT Press Surabaya. Awalnya tidak mau ikut, tapi karena berpikir lagi—saat itu memang tidak ada kesibukan—akhirnya saya mulai memutuskan untuk mencoba. Lolos Alhamdulillah, tidak lolos naskahnya bisa dikirim ke tempat lain, pikir saya waktu itu.
Pertama mulai dengan judul. Saya memang orang yang kalau mau menulis apa pun, entah itu cerpen, puisi, atau novel, harus menentukan judulnya dulu. Jika judulnya belum ada, entah kenapa saya akan susah memikirkan cerita apa yang akan saya tuliskan nantinya.
Dulu sekali, saya pernah ingin menulis naskah tentang kehidupan malam di Makassar, bahkan judulnya sudah ada, Menatap Perbani di Langit Makassar. Namun karena umur saya belum cukup untuk menulis naskah tema dewasa, maka ide itu terpaksa harus saya simpan dalam-dalam di otak, yang pada akhirnya terlupakan.
Saat melihat tema lombanya, tiba-tiba saya langsung teringat akan ide itu, tapi dipertimbangkan lagi. Kira-kira kalau ide itu yang saya gunakan, apa naskahnya akan diterima? Niat menulis naskahnya kembali batal. Sempat stuck, saya memilih untuk tidur saja. Sebelum benar-benar tidur, mendadak saya teringat oleh salah satu rekan sesama penulis yang pernah hadir di Makassar International Writers Festival tahun 2016.
Gadis keturunan bangsawan yang dari kecil hidup dengan segala peraturan kebangsawanan. Tidak boleh keluar rumah, bertemu dengan sembarang orang, dan segala larangan lain. Hal itu membuatnya ingin sekali memberontak, ingin menuntut hak hidup yang sekiranya bisa membuatnya tidak merasa seperti robot. Saya mendapatkan ide untuk naskahnya dari situ.
Tidak jadi tidur, semangat untuk menulis kembali muncul. Berjam-jam menentukan judul, akhirnya yang digunakan adalah Sepotong Bulan Menghilang di Matamu. Bukan hanya untuk terdengar puitis, tapi kalimat itu punya makna yang dalam bagi saya pribadi.
Setelah judul selesai, lanjut ke outline. Entah kenapa, dari dulu saya suka sekali dengan bulan, jadi mau menuliskan sesuatu yang ada filosofi bulannya bagi kehidupan. Ini tidak gampang bagi saya, karena harus cari yang sesuai dengan tema lombanya, yaitu Mencari Jati Diri. Setelah berapa kali rombak outline, belum juga dapat yang pas.
Berhari-hari saya mendiamkan project ini, sampai suatu malam memutuskan untuk menulis dengan outline yang sudah jadi dulu. Nanti kalau tiba-tiba ada ide tentang perubahan alur di tengah cerita, baru akan disesuaikan dengan bagian awal yang sudah ditulis.
Bagian 1 selesai, tapi waktu mau menulis bagian selanjutnya di situ tantangan yang sebenarnya dimulai. Mama penjahit, waktu itu orderannya lumayan banyak, sedangkan beliau sendiri punya kesibukan lain yang tidak bisa ditinggal. Alhasil, beberapa orderan saya yang mengerjakan.
Sudah dikatakan tadi kalau waktu itu saya memang lagi menganggur, jadi sebisa mungkin berusaha untuk menjadi sedikit berguna bagi mama. Karena dari kecil melihat mama atau alm. bapak menjahit, saya jadi tahu sedikit tentang teknik-teknik menjahit, bahkan sekarang sudah mahir.
Siang kerja orderan jahitan, malamnya saya sudah malas lanjutkan tulisan. Lelah ‘kan seharian duduk. Dari situ sempat berpikir untuk batal ikut lombanya saja. Keluar kamar saya mendengar mama, tante dan beberapa sepupu berbicara tentang saya.
Sebelumnya mama tidak pernah menuntut lebih untuk saya melakukan sesuatu yang beliau mau, tidak pernah memaksa jika saya harus jadi siswa beprestasi di sekolah. Pokoknya semuanya sesuai kemauan saya saja, selama itu masih baik dan tidak berdampak buruk. Karena tidak pernah mendapat tuntutan, saya berusaha untuk jadi yang terbaik. Di sekolah berusaha pertahankan prestasi dan jadi anak emas di mana pun.
Namun sekeras apa pun saya berusaha, setinggi apa pun prestasi yang saya raih, tidak pernah sekali pun mama menunjukkan reaksi berlebihan padahal itu semua saya lakukan untuk membuat mama bangga. Saya mulai masa bodoh tentang hal apa pun lagi sejak sadar akan hal itu, tapi malam itu, saat mama bercerita tentang saya ekspresinya berbeda. Beliau menunjukkan bahwa dia bangga punya saya.
On fire lagi, kembali saya memutuskan untuk melanjutkan tulisan. Pokoknya harus membuat mama bangga dalam segi apa pun. Mulai tenggelam dalam pekerjaan, siang menjahit malam menulis membuat saya benar-benar lelah. Baru merasa lega saat semua pekerjaan selesai dikerjakan. Naskah rampung dalam waktu kurang lebih dua bulan dan siap dikirim.
Tidak percaya diri untuk bisa menang, tapi dalam hati berdoa setidaknya bisa dapat juara 3. Sempat degdegan menunggu hasil, beberapa hari sebelum menuju pengumuman penyakit lama kambuh, pesimis. Tidak ada harapan lagi meski naskah saya belum juga dieleminasi.
Tahap peneliannya waktu itu dengan memakai sistem eleminasi. Naskah-naskah yang tidak memenuhi kriteria langsung gugur begitu saja. Awalnya ada belasan naskah yang gugur karena cara penulisan yang tidak rapi, kemudian ada lagi karena banyak kesalahan dan sebagainya. Setiap minggu ada saja naskah-naskah yang tersingkir menyisakan beberapa naskah, termasuk Sepotong Bulan Menghilang di Matamu, yang akhirnya bisa bertahan sampai pengumuman final dan menempati juara 2.
Jadilah buku ini:
Jeng, jeng, jeng!
Buku solo pertama saya akhirnya terbit. Bergenre romance tapi sebenarnya lebih mengedepankan tentang sikap menghadapi berbagai macam masalah di kehidupan daripada sisi percintaan. Dari dulu saya tidak terlalu suka dengan cerita romansa yang terkesan klise dan menye-menye, jadi saya berusaha mungkin untuk tidak menulis seperti itu. Jika diharuskan, saya akan mencoba untuk mengurangi hal yang membuat saya sendiri geli saya membaca draft naskah. Memang ada, tapi porsinya tidak akan banyak.
Untuk garis besar ceritanya bisa dilihat di blurb.
Jika setetes air saja dapat mengubah susunan partikel dalam lautan, lantas kenapa orang-orang maih membiarkan dirinya tenggelam dalam keadaan yang terus mengekang tanpa berusaha berenang keluar?
Dahlia Akhtar menjalani kehidupan barunya setelah memutuskan pergi dari rumah karena sebuah insiden yang tidak pernah terbayang olehnya. Dalam pelariannya, Dahli bertemu dengan pemuda bernama Damar, yang mengajarkannya tentang arti hiudp yang sebenarnya.
Waktu membuat sesuatu timbul di hati mereka, bersamaan dengan munculnya fakta tentang siapa Damar yang sebenarnya.
Kemudian satu persatu rahasia di masa lalu terbongkar.
Itu blurbnya, untuk tokoh saya mengambil nama bunga, pohon, sampai benda langit.
Tokoh utama dan pendamping:
-Dahlia, gadis yang dalam kepalanya banyak sekali terpikir tentang hal-hal tidak terima dengan segala kekangan. Dia mau hidup bebas.
-Damar, pemuda yang berasal dari keluarga sederhana, yang berjuang untuk menghidupi dirinya dan neneknya.
-Bunga, ibu Dahlia. Janda dan garis bangsawan yang melekat padanya membuatnya jadi orang yang penuh tata tertib sebagai bangsawan.
-Melati, kakak Dahlia, wanita yang lembut, penyabar dan penuh kasih sayang.
-Mawar, kakak Dahlia, wanita yang cantik, namun dingin dan tidak peduli pada hal tidak yang dianggap tidak penting.
-Akasia, nenek Damar, wanita tua yang penuh kasih sayang.
Tokoh figuran yang memberi dampak besar bagi sebagian alur cerita:
-Surya, pria yang berasal dari keluarga bangsawan. Menganggap derajat seseorang berdasar kastanya.
-Sinar, istri Surya. Wanita sombong dan angkuh.
-Fajar, anak Surya, pemuda yang penuh siasat.
-Sekar, gadis desa tempat Damar tinggal. Egois dan mau menang sendiri.
Cameo:
-Bima, pemuda yang berasal dari keluarga musisi. Berjuang hidup sendirian setelah keluarganya berantakan. Pekerja keras.
-Chandra, ayah Damar.
-Bulan, ibu Damar.
-Daffa Akhtar, ayah Dahlia.
Meski tokohnya banyak, tapi punya peran penting dan tidak sia-sia. Sesuai porsi masing-masing.
Saya sudah bercerita tentang hal apa saja yang terjadi saat penulisan naskah Sepotong Bulan Menghilang di Matamu. Ini memang tidak penting bagi orang lain, tapi bagi saya ini adalah perjalanan yang berarti. Kesulitan-kesulitan, hambatan-hambatan, tantangan-tantangan, itu semua menjadi satu cerita yang ingin saya arsipkan untuk bisa terus diingat.
Sampai jumpa dicerotan lain, terima kasih sudah berkunjung.
2 Juli 2018, pertama kali saya melihat info lomba novel dari AT Press Surabaya. Awalnya tidak mau ikut, tapi karena berpikir lagi—saat itu memang tidak ada kesibukan—akhirnya saya mulai memutuskan untuk mencoba. Lolos Alhamdulillah, tidak lolos naskahnya bisa dikirim ke tempat lain, pikir saya waktu itu.
Pertama mulai dengan judul. Saya memang orang yang kalau mau menulis apa pun, entah itu cerpen, puisi, atau novel, harus menentukan judulnya dulu. Jika judulnya belum ada, entah kenapa saya akan susah memikirkan cerita apa yang akan saya tuliskan nantinya.
Dulu sekali, saya pernah ingin menulis naskah tentang kehidupan malam di Makassar, bahkan judulnya sudah ada, Menatap Perbani di Langit Makassar. Namun karena umur saya belum cukup untuk menulis naskah tema dewasa, maka ide itu terpaksa harus saya simpan dalam-dalam di otak, yang pada akhirnya terlupakan.
Saat melihat tema lombanya, tiba-tiba saya langsung teringat akan ide itu, tapi dipertimbangkan lagi. Kira-kira kalau ide itu yang saya gunakan, apa naskahnya akan diterima? Niat menulis naskahnya kembali batal. Sempat stuck, saya memilih untuk tidur saja. Sebelum benar-benar tidur, mendadak saya teringat oleh salah satu rekan sesama penulis yang pernah hadir di Makassar International Writers Festival tahun 2016.
Gadis keturunan bangsawan yang dari kecil hidup dengan segala peraturan kebangsawanan. Tidak boleh keluar rumah, bertemu dengan sembarang orang, dan segala larangan lain. Hal itu membuatnya ingin sekali memberontak, ingin menuntut hak hidup yang sekiranya bisa membuatnya tidak merasa seperti robot. Saya mendapatkan ide untuk naskahnya dari situ.
Tidak jadi tidur, semangat untuk menulis kembali muncul. Berjam-jam menentukan judul, akhirnya yang digunakan adalah Sepotong Bulan Menghilang di Matamu. Bukan hanya untuk terdengar puitis, tapi kalimat itu punya makna yang dalam bagi saya pribadi.
Setelah judul selesai, lanjut ke outline. Entah kenapa, dari dulu saya suka sekali dengan bulan, jadi mau menuliskan sesuatu yang ada filosofi bulannya bagi kehidupan. Ini tidak gampang bagi saya, karena harus cari yang sesuai dengan tema lombanya, yaitu Mencari Jati Diri. Setelah berapa kali rombak outline, belum juga dapat yang pas.
Berhari-hari saya mendiamkan project ini, sampai suatu malam memutuskan untuk menulis dengan outline yang sudah jadi dulu. Nanti kalau tiba-tiba ada ide tentang perubahan alur di tengah cerita, baru akan disesuaikan dengan bagian awal yang sudah ditulis.
Bagian 1 selesai, tapi waktu mau menulis bagian selanjutnya di situ tantangan yang sebenarnya dimulai. Mama penjahit, waktu itu orderannya lumayan banyak, sedangkan beliau sendiri punya kesibukan lain yang tidak bisa ditinggal. Alhasil, beberapa orderan saya yang mengerjakan.
Sudah dikatakan tadi kalau waktu itu saya memang lagi menganggur, jadi sebisa mungkin berusaha untuk menjadi sedikit berguna bagi mama. Karena dari kecil melihat mama atau alm. bapak menjahit, saya jadi tahu sedikit tentang teknik-teknik menjahit, bahkan sekarang sudah mahir.
Siang kerja orderan jahitan, malamnya saya sudah malas lanjutkan tulisan. Lelah ‘kan seharian duduk. Dari situ sempat berpikir untuk batal ikut lombanya saja. Keluar kamar saya mendengar mama, tante dan beberapa sepupu berbicara tentang saya.
Sebelumnya mama tidak pernah menuntut lebih untuk saya melakukan sesuatu yang beliau mau, tidak pernah memaksa jika saya harus jadi siswa beprestasi di sekolah. Pokoknya semuanya sesuai kemauan saya saja, selama itu masih baik dan tidak berdampak buruk. Karena tidak pernah mendapat tuntutan, saya berusaha untuk jadi yang terbaik. Di sekolah berusaha pertahankan prestasi dan jadi anak emas di mana pun.
Namun sekeras apa pun saya berusaha, setinggi apa pun prestasi yang saya raih, tidak pernah sekali pun mama menunjukkan reaksi berlebihan padahal itu semua saya lakukan untuk membuat mama bangga. Saya mulai masa bodoh tentang hal apa pun lagi sejak sadar akan hal itu, tapi malam itu, saat mama bercerita tentang saya ekspresinya berbeda. Beliau menunjukkan bahwa dia bangga punya saya.
On fire lagi, kembali saya memutuskan untuk melanjutkan tulisan. Pokoknya harus membuat mama bangga dalam segi apa pun. Mulai tenggelam dalam pekerjaan, siang menjahit malam menulis membuat saya benar-benar lelah. Baru merasa lega saat semua pekerjaan selesai dikerjakan. Naskah rampung dalam waktu kurang lebih dua bulan dan siap dikirim.
Tidak percaya diri untuk bisa menang, tapi dalam hati berdoa setidaknya bisa dapat juara 3. Sempat degdegan menunggu hasil, beberapa hari sebelum menuju pengumuman penyakit lama kambuh, pesimis. Tidak ada harapan lagi meski naskah saya belum juga dieleminasi.
Tahap peneliannya waktu itu dengan memakai sistem eleminasi. Naskah-naskah yang tidak memenuhi kriteria langsung gugur begitu saja. Awalnya ada belasan naskah yang gugur karena cara penulisan yang tidak rapi, kemudian ada lagi karena banyak kesalahan dan sebagainya. Setiap minggu ada saja naskah-naskah yang tersingkir menyisakan beberapa naskah, termasuk Sepotong Bulan Menghilang di Matamu, yang akhirnya bisa bertahan sampai pengumuman final dan menempati juara 2.
Jadilah buku ini:
Jeng, jeng, jeng!
Buku solo pertama saya akhirnya terbit. Bergenre romance tapi sebenarnya lebih mengedepankan tentang sikap menghadapi berbagai macam masalah di kehidupan daripada sisi percintaan. Dari dulu saya tidak terlalu suka dengan cerita romansa yang terkesan klise dan menye-menye, jadi saya berusaha mungkin untuk tidak menulis seperti itu. Jika diharuskan, saya akan mencoba untuk mengurangi hal yang membuat saya sendiri geli saya membaca draft naskah. Memang ada, tapi porsinya tidak akan banyak.
Untuk garis besar ceritanya bisa dilihat di blurb.
Jika setetes air saja dapat mengubah susunan partikel dalam lautan, lantas kenapa orang-orang maih membiarkan dirinya tenggelam dalam keadaan yang terus mengekang tanpa berusaha berenang keluar?
Dahlia Akhtar menjalani kehidupan barunya setelah memutuskan pergi dari rumah karena sebuah insiden yang tidak pernah terbayang olehnya. Dalam pelariannya, Dahli bertemu dengan pemuda bernama Damar, yang mengajarkannya tentang arti hiudp yang sebenarnya.
Waktu membuat sesuatu timbul di hati mereka, bersamaan dengan munculnya fakta tentang siapa Damar yang sebenarnya.
Kemudian satu persatu rahasia di masa lalu terbongkar.
Itu blurbnya, untuk tokoh saya mengambil nama bunga, pohon, sampai benda langit.
Tokoh utama dan pendamping:
-Dahlia, gadis yang dalam kepalanya banyak sekali terpikir tentang hal-hal tidak terima dengan segala kekangan. Dia mau hidup bebas.
-Damar, pemuda yang berasal dari keluarga sederhana, yang berjuang untuk menghidupi dirinya dan neneknya.
-Bunga, ibu Dahlia. Janda dan garis bangsawan yang melekat padanya membuatnya jadi orang yang penuh tata tertib sebagai bangsawan.
-Melati, kakak Dahlia, wanita yang lembut, penyabar dan penuh kasih sayang.
-Mawar, kakak Dahlia, wanita yang cantik, namun dingin dan tidak peduli pada hal tidak yang dianggap tidak penting.
-Akasia, nenek Damar, wanita tua yang penuh kasih sayang.
Tokoh figuran yang memberi dampak besar bagi sebagian alur cerita:
-Surya, pria yang berasal dari keluarga bangsawan. Menganggap derajat seseorang berdasar kastanya.
-Sinar, istri Surya. Wanita sombong dan angkuh.
-Fajar, anak Surya, pemuda yang penuh siasat.
-Sekar, gadis desa tempat Damar tinggal. Egois dan mau menang sendiri.
Cameo:
-Bima, pemuda yang berasal dari keluarga musisi. Berjuang hidup sendirian setelah keluarganya berantakan. Pekerja keras.
-Chandra, ayah Damar.
-Bulan, ibu Damar.
-Daffa Akhtar, ayah Dahlia.
Meski tokohnya banyak, tapi punya peran penting dan tidak sia-sia. Sesuai porsi masing-masing.
Saya sudah bercerita tentang hal apa saja yang terjadi saat penulisan naskah Sepotong Bulan Menghilang di Matamu. Ini memang tidak penting bagi orang lain, tapi bagi saya ini adalah perjalanan yang berarti. Kesulitan-kesulitan, hambatan-hambatan, tantangan-tantangan, itu semua menjadi satu cerita yang ingin saya arsipkan untuk bisa terus diingat.
Sampai jumpa dicerotan lain, terima kasih sudah berkunjung.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar